Karbon sebagai unsur, sangat berperan penting dalam pembentukan kehidupan di bumi. Semua makhluk hidup memiliki unsur karbon dalam tubuhnya, meski dalam bentuk senyawa dengan unsur lain seperti hidrogen dan oksigen. Namun kali ini, kita akan membahas tentang senyawa karbon dioksida (CO2), khususnya yang terkandung dalam gas emisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan industri.
Konsekuensi perubahan iklim semakin nyata, sangat penting bagi individu untuk memahami dan mengambil tindakan untuk mengurangi jejak karbon mereka. Istilah "jejak karbon" mengacu pada jumlah total gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida dan metana, yang dikeluarkan sebagai hasil dari berbagai produksi dan aktivitas sehari-hari. Dengan mengkaji penyebab jejak karbon dan menerapkan strategi efektif untuk menguranginya, kita semua dapat berkontribusi untuk mengurangi dampak pemanasan global. Panduan komprehensif ini akan mengeksplorasi konsep jejak karbon, penyebabnya, dan langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk meminimalkan dampak lingkungan kita.
Dalam dua dekade terakhir, istilah emisi karbon sangat familiar di telinga kita. Istilah ini muncul beriringan dengan topik-topik perubahan iklim lainnya seperti efek rumah kaca, krisis iklim dan jejak karbon. Sebagai generasi yang hidup di tengah krisis iklim, masa depan bumi semakin bergantung pada tindakan kita sekarang.
Jejak karbon adalah jumlah emisi atau gas rumah kaca (termasuk karbon dioksida) yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dalam kurun waktu tertentu. Emisi ini terjadi sepanjang siklus hidup, termasuk produksi, transportasi, penggunaan, dan pembuangan produk. Emisi gas rumah kaca yang paling umum adalah karbon dioksida (CO2), yang terutama dihasilkan melalui pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Metana (CH4) adalah gas rumah kaca penting lainnya, yang dilepaskan selama proses seperti kegiatan pertanian dan penguraian limbah organik. Seiring dengan bertambahnya populasi dan globalisasi, jejak karbon pun semakin tinggi dan memengaruhi iklim dunia secara negatif.
Sebelum mengambil tindakan lebih lanjut dalam mengubah pola hidup, kita harus menyadari seberapa besar perubahan yang perlu kita lakukan dengan cara melihat jejak karbon (carbon footprint) kita.
Menghitung jejak karbon individu atau organisasi melibatkan pertimbangan berbagai faktor, termasuk konsumsi energi, kebiasaan transportasi, pengelolaan limbah, dan pilihan makanan. Dengan mengukur jejak karbon, Anda dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dampak lingkungan kami dan mengidentifikasi area di mana Anda dapat membuat perubahan untuk mengurangi emisi.
Setiap kegiatan yang kita lakukan, dan setiap barang yang kita gunakan atau konsumsi, selalu memberikan pengaruh terhadap lingkungan. Sebagai contoh, kita mengonsumsi wagyu steak yang diimpor dari Jepang di sebuah restoran di tengah kota. Emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas tersebut dapat ditarik sejauh peternakan sapi.
Sistem pencernaan sapi mengandung bakteri tertentu yang mampu mencerna serat seperti rumput. Namun, proses pencernaan ini menyebabkan sapi mengeluarkan metana, gas rumah kaca yang 28-34 kali lebih ‘kuat’ dari karbon dioksida dalam rentang 100 tahun.
Selanjutnya, emisi karbon terbentuk dari proses penyembelihan, pengemasan, hingga pengiriman daging antarnegara. Proses penyajian pun juga Penyimpanan menghasilkan emisi karbon, mulai dari penyimpanan daging dalam freezer hingga dimasak. Belum lagi emisi karbon yang dihasilkan dari perjalanan kita ke restoran steak tersebut.
Berikut ini beberapa aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon:
Jejak karbon yang kita hasilkan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan kita di bumi, seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrim dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.
Beberapa faktor kunci berkontribusi pada pembentukan jejak karbon. Memahami penyebab ini sangat penting untuk menerapkan strategi yang efektif untuk mengurangi dampak lingkungan kita. Banyak sekali aktivitas kita yang tidak disadari menimbulkan jejak karbon, seperti aktivitas-aktivitas berikut:
Jejak karbon dapat direpresentasikan dalam carbon dioxide equivalent (CO2e). Gas-gas rumah kaca potensinya disetarakan dengan bahaya potensi gas karbon dioksida. Jumlah dan potensi gas rumah kaca dapat dihitung dengan cara:
(Jumlah emisi gas rumah kaca) X (Indeks GWP atau Global Warming Potential)
Contoh:
1 kg gas metana (CH4) x 28 = 28 kg CO2e
Semakin tinggi nilai indeks jejak karbon yang kita hasilkan, semakin tinggi juga konsentrasi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Tingginya konsentrasi gas rumah kaca tersebut akan berujung pada peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim.
Jika rata-rata jejak karbon untuk satu orang saat ini adalah 4 ton per tahun, bayangkan berapa jejak karbon yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan raksasa dengan rantai industri global? Padahal, untuk menghindari kenaikan suhu bumi 2℃, jejak karbon global rata-rata harus turun hingga di bawah 2 ton pada 2050.
Tentunya, sebagai individu ada berbagai metode yang dapat kita lakukan untuk mengurangi jejak karbon pada aktivitas kita.
Dengan menerapkan strategi ini, individu dapat mengurangi jejak karbon mereka dan berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan. Penting untuk diingat bahwa bahkan perubahan kecil dalam kebiasaan kita sehari-hari dapat membuat perbedaan yang signifikan jika diterapkan secara kolektif.
Memahami dan bekerja secara aktif untuk mengurangi jejak karbon kita merupakan langkah penting dalam memerangi perubahan iklim. Dengan menghitung dampak lingkungan kita, mengidentifikasi penyebab jejak karbon, dan menerapkan strategi yang efektif, kita semua dapat berkontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan. Dari pilihan transportasi berkelanjutan hingga praktik hemat energi, konsumsi makanan secara sadar, dan pengelolaan limbah, setiap tindakan yang kami ambil berperan dalam meminimalkan jejak karbon kami. Bersama-sama, kita dapat membuat perbedaan dan membuka jalan untuk masa depan yang lebih hijau.
Urgensi penanganan masalah iklim akibat emisi karbon semakin mendesak. Tidak hanya berasal dari masyarakat, pemerintah dan swasta raksasa pun perlu mencanangkan komitmen global untuk permasalahan ini.
Pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini sepenuhnya bersifat sukarela, di mana semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F); menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F). Perjanjian Paris mulai berlaku efektif pada 4 November 2016.
Melanjutkan dari kesepakatan tersebut, skema-skema perdagangan karbon karbon global pun dilaksanakan untuk menjaga jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer. Terkait pengawasan emisi karbon, perdagangan karbon umumnya dilakukan melalui bursa komoditi dengan standar satuan tertentu.
“Karbon” yang dimaksud dalam perdagangan karbon di bursa adalah kredit karbon. Secara sederhana, kredit karbon merepresentasikan ‘hak’ menghasilkan karbon. Kredit ini dihasilkan oleh proyek-proyek penghijauan dengan metode perhitungan potensi penyerapan karbon yang telah diakui secara global.
Sementara itu, usaha maupun instansi yang menghasilkan emisi karbon lebih dari kredit (atau ‘hak’) yang dimiliki, dapat membeli kredit karbon yang dijual di pasar karbon. Dengan demikian, kita dapat mengontrol sekaligus menyeimbangkan jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer bumi dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1.5˚C.
Baca juga artikel lainnya :