Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Melihat dari sejarahnya tanaman kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama di sekitar Angola sampai Senegal. Masuknya tanaman ini pertama kali dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1848. Awal mulanya hanya dibawa empat batang bibit sawit dan kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor. Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia berlokasi di Pantai Timur Sumatera dan wilayah Aceh dengan wilayah perkebunan sebesar 5.123 hektar. Kemajuan pesat bisnis ini menggeser Afrika sebagai pengekspor nomor satu dunia.
Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia, pada pemerintahan Orde Baru pengelolaan bisnis komoditi ini memasuki era menciptakan lapangan kerja demi kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga sebagai lahan gembur untuk meningkatkan devisa negara. Pemerintah membuka lahan baru salah satunya produksi CPO (Crude Palm Oil) yang menghasilkan 721.172 ton. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit terutama kemudahan dalam hal perizinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan sistem pola pengembangan perkebunan rakyat (PIR-Bun) dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.
Produksi kelapa sawit yang begitu melimpah ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, serta dalam sektor pertanian sendiri mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini terlihat dari kontribusi kelapa sawit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar tercermin dari data Badan Pusat Statistik yaitu sekitar 13,28% pada tahun 2021 atau merupakan urutan kedua setelah sektor Industri Pengolahan sebesar 19,25%. Selain itu, nilai ekspor minyak sawit mencapai USD 28,68 miliar dengan volume ekspor mencapai 27,04 juta ton pada tahun 2021. Industri kelapa sawit juga telah menyediakan lapangan pekerjaan sebesar 16 juta tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengingat pentingnya kelapa sawit bagi perekonomian nasional, maka pemerintah terus berupaya untuk mempercepat perdagangan CPO di Indonesia dari hulu sampai ke hilir, dengan terus mendukung infrastruktur CPO untuk menopang akselerasi perdagangan CPO Indonesia. Salah satu kebutuhan infrastruktur yang paling mendesak adalah pelabuhan sebagai tujuan ekspor CPO Indonesia.
Pentingnya peran pada komoditas CPO ini membuat pemerintah berfokus pada akselerasi perdagangan CPO melalui bursa berjangka, hal ini memiliki tujuan agar transaksi lebih mudah, efisien, dan transparan serta transaksi yang terjadi dapat di cek secara real time. Harga yang terbentuk di bursa berdasarkan mekanisme pasar karena adanya permintaan dan penawaran, harga ini diharapkan dapat menjadi harga referensi CPO dunia mengingat Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar untuk pemenuhan CPO global. Manfaat lainnya bagi pemerintah adalah dalam membuat kebijakan, karena informasi dan data terkait kelapa sawit ini lebih jelas karena lebih transparan.
Saat ini Pemerintah telah berencana mewajibkan ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit melalui bursa berjangka. Kebijakan tersebut dinilai menjadi upaya untuk memperbaiki tata kelola industri sawit. Lembaga bursa ini terdiri atas bursa berjangka dan kliring berjangka. Bursa sebagai pasar terorganisir yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual beli komoditi berdasarkan kontrak Berjangka, sedangkan lembaga kliring berjangka sebagai sarana untuk pelaksanaan kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi perdagangan berjangka. Bappebti juga saat ini sedang menyusun peta jalan (roadmap) dalam waktu dekat. Pasalnya, Undang-Undang No 32 Tahun 1997 telah mengamanahkan Bappebti untuk membangun bursa yang mampu mewujudkan harga acuan, sedangkan saat ini baru timah yang sudah tercapai.
Peran infrastruktur pasar CPO dalam price discovery adalah untuk menciptakan harga acuan dalam negeri. Pasalnya Indonesia telah menjadi produsen CPO terbesar di dunia sehingga menjadi penting apabila terdapat harga acuan dalam negeri. Namun, sayangnya dengan total produksi kelapa sawit yang melimpah dan tingginya ekspor CPO Indonesia di pasar internasional, harga acuan internasional masih menggunakan harga dari Bursa Berjangka Malaysia dan Bursa Rotterdam di Belanda. Salah satu alasan mengapa penentuan harga CPO dunia menggunakan harga dari Bursa Berjangka Malaysia yaitu Bursa Berjangka Malaysia sudah memiliki riwayat terlebih dahulu dalam perdagangan CPO sejak 1980. Terbentuknya pembentukan harga dalam negeri juga bisa menjadi referensi petani. Semua orang bisa tahu harga bulan depan atau tahun depan, tidak seperti selama ini yang mana petani tidak mengetahui harga, sehingga harga di tingkat tersebut ditentukan oleh tengkulak. Harga refrensi ini juga dapat dilakukan petani untuk melakukan hedging atau sarana lindung nilai karena dalam perdagangan bursa berjangka mengenal kontrak futures.
Penentuan Harga Ekspor Tertentu adalah harga patokan atas barang ekspor tertentu yang ditetapkan setiap bulan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan. CPO dan produk turunannya termasuk kepada barang ekspor tertentu, sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor. Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas barang ekspor tertentu didasarkan pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB di beberapa pelabuhan ekspor di Indonesia dengan mempertimbangkan terjaminnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, terlindunginya kelestarian sumber daya alam, terjaminnya stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri, dan daya saing barang ekspor tertentu.
Pada periode awal 2023 Pemerintah telah menetapkan harga referensi produk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPD-PKS) atau pungutan ekspor (PE) periode 1-15 Februari 2023 adalah USD879,31/metric ton (MT). Nilai ini turun sebesar USD 41,26 atau 4,48 persen dari periode 16-31 Januari 2023, yaitu sebesar USD 920,57/ MT. Penurunan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor seperti penurunan permintaan dari India dan Tiongkok. Kemudian penguatan kurs ringgit terhadap USD, dan peningkatan harga minyak nabati lainnya karena penurunan produksi di Amerika.