Home
>
News
>
Publication
>
Kesehatan Komoditi Global Diguncang COVID-19
Kesehatan Komoditi Global Diguncang COVID-19
Tuesday, 04 May 2021



Sekilas COVID-19 

Virus infeksi pernafasan yang secara resmi disebut sebagai COVID-19 (Corona Virus Desease-2019) oleh WHO pada 11 Februari 2020 ini pertama kali muncul dari daerah Wuhan, Cina pada bulan Desember 2019. Awalnya, kasus COVID-19 dikaitkan dengan pasar hewan hidup, namun sekarang telah menyebar dari orang ke orang. 


Virus yang menyebar melalui kontak langsung ini memiliki 3 gejala umum: demam, batuk, dan sulit bernapas. Karena alasan ini pula, sangat disarankan bagi pasien untuk dikarantina selama 14 hari agar tidak menyebarkan virus ke orang lain. Durasi tersebut merupakan periode inkubasi terpanjang yang pernah ditemukan dalam kasus ini.  


Langkah pencegahan yang gencar dilakukan oleh negara-negara yang belum ditemukan kasus COVID-19 adalah dengan mengedukasi kepada masyarakat untuk melakukan cuci tangan intensif, menggunakan masker, pengecekan suhu tubuh tiap hari, dan menjaga jarak dengan orang yang sakit.

Sejak diumumkan Desember tahun lalu, penyebaran COVID-19 tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Sebaliknya, jumlah kasus kian meningkat dari hari ke hari. Bahkan, penyebarannya pun meluas ke berbagai negara di dunia. Melihat ribuan kasus wabah COVID-19 di Cina, WHO pada 30 Januari 2020 menyatakan darurat kesehatan global. Angka korban yang meninggal di Cina pun meningkat hingga jumlahnya secara global melebihi korban yang meninggal akibat epidemi SARS pada tahun 2002 – 2003.


Berdasarkan laporan dari WHO, kasus pertama COVID-19 yang dikonfirmasi di luar Cina terjadi di Jepang, Korea Selatan dan Thailand, sebelum akhirnya menyebar ke negara-negara lain dengan cepat. Pada 11 Maret 2020, WHO secara resmi memasukkan kasus COVID-19 ke dalam kategori pandemi global.


Tercatat sampai dengan akhir Maret 2020, virus ini telah menyebar ke lebih dari 200 negara, dengan total kasus infeksi melebihi 900.000 kasus, sementara untuk korban meninggal telah melewati angka 45.000 korban. Untuk angka kematian terbanyak (melewati angka 1.000) terjadi di Italia, Spanyol, AS, Prancis, Cina, Iran, Inggris dan Belanda.


Seiring dengan penyebaran COVID-19 yang makin pesat dan luas, para ahli kesehatan mulai menyarankan untuk menerapkan prinsip social distancing atau menjaga jarak dalam bersosialisasi. Pada dasarnya, prinsip ini meyakini bahwa penyebaran terjadi akibat banyaknya pergerakan orang-orang dari satu tempat ke tempat lain, dimana dalam setiap pergerakannya seseorang berpotensi menjumpai pasien, mengunjungi tempat-tempat ataupun benda- benda yang ternyata mengandung virus.


Beberapa kebijakan umum telah menganut prinsip social distancing, antara lain pembatasan jarak antarpenumpang di kendaraan umum, larangan kegiatan publik (seperti ibadah, olahraga tim, dan tempat hiburan), serta anjuran untuk bekerja dari rumah work from home.


Selain social distancing, beberapa negara yang sudah terjangkit virus COVID-19 secara tegas memberlakukan lockdown atau mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara. Hal ini bertujuan agar virus tidak menyebar lebih jauh lagi. 


Jika suatu daerah dikunci, maka semua fasilitas publik harus ditutup. Mulai dari sekolah, transportasi umum, tempat umum, perkantoran, bahkan pabrik harus ditutup dan tidak diperkenankan beraktivitas. Aktivitas warganya pun dibatasi. Bahkan, ada negara yang memberlakukan jam malam. Negara-negara yang telah menerapkan kebijakan lockdown antara lain Cina, Italia, Denmark, Iran, Arab Saudi, Spanyol, Malaysia, dan lainnya.


Emas Berkilau Saat Komoditas Lain Terguncang

Cina yang menjadi “pasien pertama” dari COVID-19 ini merupakan raksasa ekonomi terbesar kedua dunia, yang menguasai pangsa pasar bagi kebanyakan komoditas baik dari sisi produsen maupun konsumen. Selain Cina, Amerika Serikat (AS), yang merupakan raksasa ekonomi terbesar dunia, dan negara-negara industri penting–yang rata-rata terpusat di kawasan Asia–mengalami dampak ekonomi paling signifikan dari pandemi COVID-19 ini.


Hampir semua komoditas secara langsung ikut tertekan. Terjadinya pelemahan ekonomi dari negara-negara tersebut memicu penurunan permintaan, terutama pada komoditas berbasis energi seperti minyak mentah, batu bara, gas bumi dan produk-produk turunannya. Hal ini wajar saja mengingat melalui proses social distancing dan lockdown telah mengurangi jumlah pengoperasian alat transportasi yang digunakan

Namun, di tengah ancaman pandemi COVID-19 yang membayangi pertumbuhan ekonomi global dan menekan pasar komoditas, ternyata komoditi emas menunjukkan tren yang cenderung bergerak naik. Hal ini tentu tidak terlepas dari salah satu fungsi utama emas, yakni sebagai aset safe haven atau lindung nilai. Sehingga, ketika pelaku pasar yang panik dan diliputi kecemasan, maka mereka akan terpicu untuk mengamankan portofolio investasi dengan berburu aset-aset minim risiko, salah satunya adalah emas.


Sejak jumlah kasus baru dilaporkan bertambah secara signifikan di Cina pada 20 Januari lalu, harga emas cenderung bergerak naik. Terpantau bahwa harga logam mulia ini mulai mencetak rekor dan mencatat reli tak terbendung sejak 18 Februari 2020, dimana saat itu harga emas dunia di pasar spot ditutup di US$ 1,601.66 per troy ounce. Setelah itu, harga emas terus naik dan mencetak rekor tertingginya dalam tujuh tahun. Puncaknya terjadi pada 24 Februari lalu, dimana harga emas ditutup di level paling tingginya di US$ 1,660.42 per troy ounce. 


Harga emas dunia naik lebih dari 12% di tahun ini hingga ke atas US$1,700 per troy ounce, tertinggi sejak Desember 2012. Hal ini tentunya memberi banyak keuntungan jika dilikuidasi, sehingga memicu sebagian pelaku pasar menjual aset emasnya dan memasukkan kembali di aset lain, terutama aset keuangan, dengan harapan aksi tersebut dapat menggenjot pasar keuangan untuk kembali bergairah di tengah terpaan virus COVID-19.


Pandemi COVID-19 di Indonesia

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang positif terjangkit virus COVID-19. Kasus pertama yang dilaporkan secara resmi pada 2 Maret lalu membuat pemerintah melakukan penelusuran dan pemeriksaan lanjutan dengan skema kluster untuk melacak penyebaran virus tersebut. Dalam hitungan minggu, virus ini tercatat melonjak drastis hingga mencapai total kasus hampir 1,700 pada akhir Maret. Dari jumlah tersebut dilaporkan bahwa 103 sembuh dan 157 Korban meninggal dunia.


Perekonomian Indonesia juga mulai merasakan imbas dari virus ini, yang mana terlihat dari pelemahan kurs mata uang Rupiah. Berdasarkan data kurs Rupiah terhadap Dolar yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) tanggal 23 Maret, nilai tukar Rupiah sempat anjlok hampir 20 persen, dimana kurs tengah BI menyentuh level IDR 16,600 per USD. Ini merupakan nilai terendah sejak krisis moneter tahun 1998 lalu, saat Rupiah diperdagangkan di level IDR 16,800 per USD.


Meski demikian, Presiden Indonesia Joko Widodo tetap memilih untuk melakukan physical distancing (menggantikan istilah social distancing) dan menegaskan tidak akan melakukan lockdown. Namun, masih banyak tugas yang perlu dibenahi untuk mendukung hal tersebut terutama dari sektor telekomunikasi serta jaringan listrik yang masih belum stabil.

Penurunan kecepatan internet dunia yang terjadi akibat akses internet secara bersamaan membuat kenaikan trafik internet yang membebani jaringan internet global. Sementara tanpa masalah itu pun, internet Indonesia sendiri kurang stabil. Speedtest Global Index melaporkan bahwa kecepatan internet Indonesia masih berada jauh di bawah peringkat 100 di dunia.


Terlepas dari semua polemik yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa cara terbaik untuk meredam pandemi global COVID-19 saat ini adalah melakukan isolasi mandiri atas kesadaran diri masing-masing. Minimalkan sosialiasi sementara waktu demi kebaikan bersama dalam melewati pandemi ini. (GY)


Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788