Home
>
News
>
Publication
>
Analisis Dasar Fundamental (Bagian 1)
Analisis Dasar Fundamental (Bagian 1)
Thursday, 06 May 2021

Nikolas Prasetia


Jika berbicara tentang analisis fundamental, akan sangat terkotak-kotak tergantung pada komoditi yang dibahas. Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap komoditi akan memiliki aspek fundamental penggerak harga yang berbeda-beda. Berbeda dengan komoditi lainnya, seperti minyak, emas, dan minyak sawit yang sangat bergantung pada karakter dan kompleksitas struktur penawaran dan permintaan, mata uang yang juga tergolong sebagai komoditi finansial memiliki aspek fundamental yang cukup mudah dipahami secara mendasar dan sudah cukup lekat dengan kehidupan keseharian kita. 

Untuk mengenal lebih jauh pengaplikasian aspek fundamental dari suatu komoditi, kita akan mencoba menelisik dari sisi komoditi finansial mata uang sebagai objek analisis. Mata uang merupakan objek perdagangan berjangka komoditi yang paling sering kita temui dan dampak pergerakan nilainya mempengaruhi secara langsung aspek kehidupan sehari-hari manusia. Sebagai contoh singkat, pergerakan mata uang akan menyebabkan nilai barang-barang kebutuhan dari sector impor dan ekspor senantiasa bergerak, baik menjadi lebih mahal maupun lebih murah mengikut pergerakan nilai mata uangnya. 

Secara mendasar, untuk menganalisis sisi fundamental suatu mata uang, kita dapat berfokus pada kondisi ekonomi negara penerbitnya. Secara singkat, indikator kondisi perekonomian dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu kondisi perekonomian sehat dan tidak sehat. Artinya, semakin sehat kondisi perekonomian negara penerbit mata uang dibandingkan negara lain, maka semakin kuat pula nilai mata uangnya dibandingkan dengan mata uang dari negara lain yang kurang sehat.

Namun, bagaimana cara menilai kesehatan ekonomi suatu negara?

Setiap negara, dalam setiap periode akan merilis data terkait kondisi ekonominya yang tergabung dalam kalender ekonomi. Data yang dirilis tersebut berjenjang mulai dari data lapis satu yang dinilai lebih relevan untuk mereflesikan kondisi suatu indikator, dan menggerakkan harga dengan cukup kuat, hingga data lapis tiga yang cenderung memiliki dampak yang minim bagi pergerakan harga. Data tersebut beragam mulai dari kondisi konsumsi negara, kebijakan moneter bank sentral, tingkat inflasi, tingkat pengangguran atau kondisi tenaga kerja, hingga aktifitas sector dan konsumen. Data-data tersebutlah yang menjadi kunci dalam menganalisis pergerakan nilai mata uang melalui kesehatan ekonomi suatu negara. Dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba membahas dua dari serangkaian data makro ekonomi penggerak suatu negara yang frekuensi rilisnya paling besar dalam suatu periode, yaitu Kondisi Ketenagakerjaan dan Tingkat Inflasi.



Kondisi Ketenagakerjaan

Di dunia, terdapat kurang lebih 7.7 miliar jumlah populasi di dunia, dengan sekitar 3.3 miliarnya berada dalam angkatan kerja atau berada dalam umur produktif untuk melakukan pekerjaan. Dengan jumlah orang yang berada dalam angkatan kerja hampir sekitar 50% dari total populasi dunia, maka kondisi perekonomian negara yang ditinjau dari sektor ketenagakerjaan dapat direfleksikan dengan cukup akurat. Secara singkat, persamaan penghasilan dan konsumsi akan menjadi seperti berikut:


Lebih lanjut, tingkat penghasilan atau pendapatan per kapita dari suatu negara juga akan berkorelasi positif dengan porsi penghasilan yang akan dikonsumsi. Secara ringkas, semakin tinggi tingkat tenaga kerja atau dalam artian semakin rendah tingkat pengangguran, maka semakin tinggi penghasilan (Y) yang akan didapatkan untuk dikonsumsi (C) yang berujung pada sehatnya pembangunan (I) dan membaiknya kondisi ekonomi suatu negara.


Dalam praktik perdagangan mata uang asing, data dari sektor ketenagakerjaan yang paling diperhatikan adalah yang berasal dari Amerika Serikat dengan 3 data yang menjadi fokus utamanya adalah data Non-Farm Payroll, Average Hourly Earnings, dan data Unemployment Rate. Dari ketiga data tersebut fokus utama pasar ada pada data Non-Farm Payroll, dengan tanpa mengesampingkan data-data yang lain. Secara umum data Non-Farm Payroll mengukur perubahan jumlah orang yang bekerja di luar sektor pertanian AS, dengan demikian data ini sebenarnya mengukur seberapa banyak orang yang mulai bekerja pada periode sebelumnya. Semakin banyak orang yang bekerja maka akan semakin baik bagi ekonomi AS.

Dengan ilustrasi di atas, maka terlihat bahwa ketika data Non-Farm Payroll dirilis kurang baik maka pada kinerja pasangan mata uang USD/JPY cenderung juga ikut mengalami tekanan, dan sebaliknya. 3 data tenaga kerja tersebut biasanya dianalisis ketika rilis, yakni di setiap Jumat pertama pada awal bulan, pada umumnya (namun tidak selalu) harga-harga instrumen finansial akan turut bergerak – sensitif terhadap rilis data ketenagakerjaan AS tersebut.

Tingkat Inflasi

Inflasi dalam ilmu ekonomi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang-barang yang terjadi secara terus menerus, yang dapat disebabkan oleh naiknya konsumsi masyarakat, likuiditas pasar yang tinggi yang mendorong konsumsi, hingga permasalahan distribusi barang. 

Namun, inflasi juga dapat berarti perubahan nilai mata uang terhadap suatu barang. Contohnya, pada tahun 1990 beras hanya seharga Rp500-Rp600/kg. Sementara di tahun 2020, harga beras sekitar Rp10.000/kg. Kenaikan harga beras yang terjadi sejak tahun 1990 itulah yang disebut inflasi, yakni naiknya harga barang atau melemahnya nilai mata uang terhadap suatu barang. 

Atas dasar keterikatan tersebut, maka tingkat inflasi dapat diukur menggunakan indikator CPI. Indikator CPI merupakan indikator yang menghitung tingkat pertumbuhan inflasi melalui kenaikan harga-harga barang tertentu yang dibeli oleh konsumen akhir. Semakin tinggi data CPI yang dirilis, maka akan berarti semakin tinggi pertumbuhan inflasi suatu negara. 

Berdasarkan definisinya, inflasi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah merupakan kondisi yang tidak diinginkan oleh pemerintah suatu negara. Pertumbuhan inflasi yang terlalu tinggi akan berdampak pada kondisi konsumen yang mulai tidak sanggup untuk membeli barang atau jasa yang ada. Sementara, pertumbuhan inflasi yang rendah dan menuju deflasi akan menurunkan penghasilan produsen dan dapat berujung pada kondisi seperti kredit macet dan meningkatnya pengangguran. Mengingat dampak langsung yang diberikan dari data tersebut, data CPI sering kali menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan pada setiap rapat bank sentral.


Kendati demikian, grafik di atas memperlihatkan bahwa rilis data CPI tidak selalu sejalan dengan harga mata uang asing, mengingat adanya mata uang tunggal kedua (dalam hal ini JPY) yang peran aspek fundamentalnya juga memiliki andil aksi timbang-menimbang dan perubahan pola beli atau jual trader terhadap suatu pasangan mata uang. 

Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788