Home
>
News
>
Publication
>
PAHIT MANIS KAKAO, SI KOMODITI UNGGULAN INDONESIA
PAHIT MANIS KAKAO, SI KOMODITI UNGGULAN INDONESIA
Wednesday, 05 May 2021

Oleh: Dominick Tjokrosetio


Mendekati pertengahan bulan Februari, permintaan cokelat selalu mengalami tren meningkat karena komoditi ini sarat dijadikan sebagai simbol perayaan hari kasih sayang atau Valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari. 


Jika melirik sejarah cokelat, kakao memainkan peran penting dalam peradaban suku Maya dan Aztec, dimana suku Maya mempercayai kakao sebagai “hadiah dari para dewa.” Kata kakao sendiri berasal dari bahasa Aztec “Cacahuati Cacahua” (yang kemudian diucapkan oleh bangsa Spanyol menjadi cacao). 


Awalnya, cokelat dikonsumsi dalam bentuk minuman pahit. Kemudian pada awal abad ke-16, bangsa Spanyol mulai mengonsumsi cokelat bersama gula tebu dan kayu manis, sehingga muncul rasa pahit-manis yang kita kenal sekarang. 


Seiring perkembangan zaman, penemuan alat cetak cokelat pada pertengahan abad ke-19 menjadi titik awal revolusi produksi cokelat. Cokelat dalam bentuk batangan pertama kali diproduksi pada awal 1847 dan mulai dipasarkan secara massal pada awal 1900-an.


Produksi dan Konsumsi 

Terdapat sekitar 20 jenis kakao di dunia saat ini, namun yang digunakan untuk memproduksi cokelat yang biasa dikonsumsi masyarakat berasal dari spesies Criollo dan Forastero. Criollo diproduksi di Amerika Selatan dan hanya menyumbang sekitar 15% dari produksi kakao dunia. Akan tetapi, spesies kakao ini menghasilkan cokelat berkualitas tinggi dan paling mahal. Sedangkan Forastero diproduksi oleh negara-negara di Afrika dan mendominasi sisa pangsa pasar, sebab spesies ini lebih mudah dibudidayakan. 


Standarisasi mutu kakao internasional mengacu pada standar yang ditetapkan oleh International Organization for Standardization (ISO), tepatnya ISO 2451:2017. Sedangkan di Indonesia, standar biji kakao diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2323-2002.


Jika dilihat dari data di atas, Afrika merupakan produsen kakao terbesar di dunia dalam beberapa dekade terakhir dengan kontribusi sebesar 70% dari total produksi global. Di tahun 2017, Pantai Gading (Ivory Coast) menduduki peringkat pertama dengan total produksi 2.03 juta ton, disusul oleh Ghana sebesar 884 ribu ton, Indonesia 660 ribu ton, Nigeria 328 ribu ton, dan Kamerun 295 ribu ton. 

Di Indonesia sendiri, sentra produksi kakao tersebar di Sulawesi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Papua, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat. Mayoritas produksi berasal dari Sulawesi dengan kontribusi sebesar 75% dari total produksi kakao Indonesia.

Negara Eropa, khususnya Swiss, merupakan konsumen cokelat terbesar dunia dengan rata-rata konsumsi cokelat per kapita di Swiss sekitar 10kg per orang tiap tahunnya. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi cokelat juga meningkat di negara-negara berkembang seperti China, Indonesia, dan India sebagaimana tampak pada data di samping. 

Pergerakan Harga Kakao 

Layaknya komoditas lain, harga kakao juga berfluktuasi. Pergerakan harga tersebut dapat dipantau dari harga referensi yang dibentuk di pasar internasional. Para pelaku pasar biasanya menggunakan harga kakao di pasar internasional yang mengacu pada harga yang dibentuk di Bursa New York Mercantile Exchange (NYMEX) dan Intercontinental Exchange (ICE) London. Harga NYMEX berdasarkan harga kakao di pasar Asia Selatan, sedangkan harga ICE London berdasarkan harga di pasar Afrika. Masing-masing kontrak kakao yang diperdagangkan oleh kedua bursa tersebut memiliki satuan kontrak yang sama, yakni 10 metrik ton per lot.


Terhitung sejak 2017 hingga 2019, rata-rata harga kakao berada di kisaran US$2,221 per metrik ton dengan harga tertinggi sebesar US$2,660 per metrik ton di bulan Mei 2018 dan harga terendah US$1,918 di bulan Desember 2017. Sepanjang tahun 2019, terpantau harga rata-rata berada di kisaran US$2,341 per metrik ton dengan harga tertinggi sebesar USD$2,520 per metrik ton di bulan November dan harga terendah sebesar US$2,195 per metrik ton di bulan Agustus.

Pergerakan harga kakao tersebut tidak mengikuti hukum pasar (permintaan dan penawaran). Beberapa faktor berikut merupakan referensi untuk memantau tren pergerakan harga kakao:


  • Cuaca

gangguan iklim dapat menghambat produksi kakao, dimana buah kakao membutuhkan perpaduan pas antara hujan dan sinar matahari. 


  • Geopolitik

Kondisi yang terjadi di negara produsen dan konsumen berdampak pada volume ekspor impor kakao yang tentunya akan mempengaruhi harga kakao global.


  • Gaya hidup

Perubahan tren gaya hidup tentunya dapat mendorong pertumbuhan industri berbasis cokelat. Misalnya, tren konsumsi dark chocolate untuk kesehatan, dengan kandungan kakao lebih tinggi dari milk chocolate, membuat permintaan kakao meningkat.


  • Pergerakan kurs mata uang

Kontrak berjangka kakao ICE London yang menjadi patokan global untuk harga fisik kakao ditransaksikan dalam mata uang Poundsterling (GBP). Sementara sebagian besar industri pengolahan kakao berada di Belanda dan Jerman, sehingga apabila kurs GBP melemah terhadap EUR, maka permintaan kakao berpotensi meningkat.


  • Stok

Jumlah pasokan kakao berlebih (oversupply) dapat mengindikasikan permintaan pasar yang sedang lemah, sehingga dapat membuat harga kakao tertekan.



Cokelat dengan cita rasa inilah yang kemudian banyak dijadikan hadiah untuk para bangsawan (dimana pada masa itu, impor kakao sangat mahal dan menunjukkan simbol kemewahan).


Berdasarkan kode HS, Produk olahan dari kakao dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu:

 cocoa powder, cocoa butter, cocoa cake dan cocoa liquor.


Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788