Home
>
News
>
Publication
>
Kesiapan Indonesia Menyelenggarakan Perdagangan Karbon
Kesiapan Indonesia Menyelenggarakan Perdagangan Karbon
Wednesday, 02 November 2022

Dampak Perubahan Iklim

Dampak dari perubahan iklim akibat pemanasan global secara nyata dirasakan. Suhu rata-rata global pada tahun 2021 diperkirakan sekitar 1,21°C lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata tahun 1850-1900. Padahal target pembatasan kenaikan suhu global berdasarkan Persetujuan Paris adalah 2°C dibanding tingkat pra-industrialisasi dan upaya lebih lanjut untuk membatasinya di bawah 1,5°C. Dampak dari pemanasan global ini tidak hanya naiknya suhu, tapi juga kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es kutub, dan cuaca ekstrim seperti pergeseran pola hujan, banjir, kekeringan, dan gelombang panas.

Kekeringan di Eropa Barat, Amerika Serikat dan Cina, kemudian banjir di Jepang dan Korea Selatan, hingga bencana banjir yang disebutkan telah menggenangi hingga sepertiga wilayah Pakistan dengan korban meninggal lebih dari 1.300 jiwa dan jutaan lainnya terdampak merupakan akibat dari pemanasan global ini. Perkiraan nilai kerugian dari banjir di Pakistan saja sudah mencapai setidaknya 10 miliar dollar AS, belum lagi potensi kenaikan harga pangan akibat dari kekeringan yang mengganggu produksi hasil pertanian.

Tranformasi Menuju Rendah Karbon

Potensi kerugian dari dampak perubahan iklim begitu besar semakin menekankan pentingnya melakukan upaya-upaya untuk menurunkan laju kenaikan suhu rata-rata bumi. Salah satunya adalah dengan menurunkan tingkat emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas kita sehari-hari. Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional berupa target mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri atau hingga 41% bila dengan dukungan eksternal pada tahun 2030.

Untuk mencapai NDC yang sudah dicanangkan tersebut, harus dengan upaya semua pihak dan harus dimulai sesegera mungkin. Semakin lama kita memulai pergerakan untuk menurunkan tingkat emisi karbon akan semakin singkat waktu yang tersisa untuk mencapai target itu. Upaya-upaya penurunan emisi harus sudah dilakukan dari sekarang. Namun pertanyaannya apakah dunia usaha di Indonesia siap dengan pola hidup yang lebih ramah lingkungan? Apakah masyarakat Indonesia sudah siap dengan pola hidup yang menghasilkan emisi karbon lebih rendah? Apakah kita sudah siap bergabung dengan upaya dunia menghambat laju pemanasan global.

Transformasi menuju pola hidup yang rendah karbon dan ramah lingkungan memerlukan penyesuaian yang besar. Bagaimanapun, penerapan teknologi yang ramah lingkungan memerlukan investasi yang besar bila harus mengganti mesin-mesin yang saat ini telah digunakan. Tanpa dorongan regulasi seperti pembatasan emisi karbon dan pemberian insentif bagi perusahaan yang bisa menurunkan tingkat emisinya, proses transformasi akan membutuhkan waktu lebih lama.

Perdagangan Unit Emisi Karbon Untuk Mencapai NDC

Perdagangan unit emisi karbon berdasarkan regulasi pemerintah merupakan salah satu solusi berbasis pasar yang memberi insentif bagi perusahaan yang rendah emisi sekaligus membuat perusahaan dengan emisi karbon yang besar harus membayar lebih. Penerapan mekanisme ini di negara lain telah terbukti mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan tingkat emisinya. Bila perdagangan unit emisi karbon diterapkan, maka idealnya diterapkan secara menyeluruh termasuk perusahaan non-manufaktur. Selama suatu perusahaan masih menggunakan kertas, listrik, dan bahan bakar untuk transportasi karyawan, maka hal-hal tersebut juga turut menyumbang pada pelepasan emisi karbon ke atmosfer.

Baru-baru ini, hasil penelitian ilmiah memperkirakan bahwa suhu rata-rata tahunan pada tahun 2026 bisa berada dalam rentang 1,1°C hingga 1,7°C lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa batas 1,5°C bisa terlewati dalam lima tahun mendatang. Bila terjadi kenaikan suhu rata-rata lebih tinggi dari yang saat ini telah terjadi pada 1,21°C, potensi bencana akan lebih besar lagi.

Kondisi ini mendorong negara-negara di dunia juga semakin mengetatkan upaya penurunan emisi. Tidak hanya bagi dunia usaha di dalam negaranya, tapi juga pada produk-produk impor yang masuk ke wilayahnya. Salah satu contohnya adalah Cross Border Mechanism Adjustment atau CBAM yang akan diterapkan Uni Eropa. Regulasi ini pada akhirnya akan memaksa produk yang diekspor ke Uni Eropa untuk memenuhi ketentuan emisi yang berlaku di Uni Eropa. Bila belum memenuhi ketentuan, maka harus membayar sesuai perhitungan emisi karbon yang dilepaskan dalam proses pembuatan produk tersebut.

Upaya pencapaian NDC Indonesia harus segera dimulai karena desakan untuk segera menurunkan tingkat emisi karbon semakin tinggi. Selain untuk menghindari potensi bencana akibat pemanasan global, juga menghadapi regulasi negara lain seperti CBAM di atas. Untuk itu, bentuk lain dari perdagangan unit emisi karbon bisa dilakukan.

Uji Coba Perdagangan Karbon di Indonesia

Perdagangan unit emisi karbon sukarela merupakan bentuk perdagangan yang bisa memberi insentif berbasis pasar kepada proyek-proyek penurunan emisi. Proyek-proyek yang dapat menyerap emisi karbon dari atmosfer ataupun yang bisa menurunkan emisi karbon yang dilepaskan, bisa mendapatkan sertifikasi atas besarnya unit emisi karbon yang berhasil dikurangi atau dihindari. Unit emisi karbon ini kemudian dapat dijual kepada perusahaan-perusahaan yang berpotensi menghadapi regulasi seperti CBAM di atas atau regulasi terkait pembatasan emisi karbon lainnya. Hasil penjualan tentu digunakan oleh penyelenggara proyek untuk memelihara dan bahkan memperluas proyek penurunan emisi karbon yang dilakukan tersebut.

Lalu bagaimana kesiapan dunia usaha menghadapi keberadaan pasar karbon seperti ini? Salah satu cara mengetahuinya adalah melalui uji coba perdagangan. PLN telah berhasil menjalankan uji coba perdagangan karbon yang dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2021, sementara sejumlah proyek reforestasi telah biasa menjual unit emisi karbon kepada pembeli-pembeli di luar negeri. Penyelenggaraan uji coba voluntary market melalui skema sandbox pada bursa di Indonesia akan memberikan gambaran atas kesiapan dunia usaha di Indonesia menghadapi era perdagangan karbon.

Uji coba melalui skema sandbox atas voluntary carbon market ini bisa memberi gambaran kesiapan dunia usaha di Indonesia. Secara terbatas, uji coba ini bisa dilakukan antara proyek-proyek penurunan emisi yang sudah ada di Indonesia dan terbiasa menjual sertifikat emisi karbonnya ke pembeli internasional. Pembelinya bisa di diwakili oleh perusahaan yang berpotensi menghadapi pengetatan regulasi di negara lain, seperti eksportir maupun perusahaan penerbangan. Bila mau sedikit diperluas, bisa juga diikuti oleh perusahaan jasa yang sudah mulai mencanangkan untuk bergerak ke arah carbon neutral.

Skema sandbox seperti ini bisa memberi gambaran atas langkah-langkah percepatan yang bisa diambil untuk sesegera mungkin mencapai target NDC Indonesia. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak dalam menurunkan dampak emisi karbon global. Tapi kalau kita tidak segera bergerak maju, maka potensinya kita akan semakin tertinggal dibanding negara-negara lain.

Tulisan ini dibuat pada pertengahan September 2022. Akhir tahun 2026 akan tercapai dalam kurang dari 4,5 tahun lagi. Apakah saat itu dunia usaha di Indonesia sudah bisa menjadi bagian dari upaya global menahan kenaikan suhu rata-rata pada 1,1°C, ataukah dunia akan menghadapi bencana-bencana yang lebih parah dari dampak kenaikan suhu rata-rata 1,21°C pada 2021? Mari kita mulai dari sekarang!

Oleh: Isa Djohari


Dapatkan info selengkapnya seputar kredit karbon dalam The Source 24: ICDX 3rd Quarter Update

Baca juga artikel lainnya : 

Syariah

Sharia



The Source 24: ICDX 3rd Quarter Update
Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788