Home
>
News
>
Publication
>
Ada yang Berbeda Menjelang Idul Fitri 2020
Ada yang Berbeda Menjelang Idul Fitri 2020
Tuesday, 11 May 2021

Setiap tahunnya, Ramadan menjadi bulan suci yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Muslim di seluruh dunia, dengan puncaknya di Hari Raya Idul Fitri. Sebagai negara dengan penduduk Muslim paling banyak di dunia menurut World Population Review – dengan 273 juta jiwa umat Muslim atau 87.2% dari populasi – Indonesia memiliki tradisi dan keunikan sendiri di bulan Ramadhan.

Kebiasaan seperti mudik menjelang Idul Fitri kini telah menjadi tradisi masyarakat Muslim di Indonesia. Banyak warga yang telah merantau ke kota besar untuk mencari nafkah dan membangun keluarga, sementara keluarga asal mereka masih di kampung halaman. Idul Fitri menjadi salah satu momen dimana para perantau bisa kembali ke kampung halamannya untuk bertemu sanak saudara dan merayakan Idul Fitri atau Lebaran bersama. 

Selain banyaknya warga yang ingin merasakan keistimewaan hari raya bersama sanak saudara di kampung halaman, konsumsi masyarakat Indonesia pun meningkat menjelang Lebaran. Mulai dari banyaknya pilihan jajanan untuk buka puasa dan sahur, membeli pakaian baru untuk hari raya, hingga pengeluaran saat mudik dan persiapan hari raya lainnya telah menjadi penggerak utama ekonomi yang berasal dari konsumsi rumah tangga di bulan Ramadan. Peningkatan konsumsi rumah tangga ini sebagian besar disebabkan oleh kucuran Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan untuk para pekerjanya.

Dalam tiga tahun terakhir, hari raya Idul Fitri jatuh pada bulan Juni atau akhir bulan kuartal kedua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produk domestik bruto (PDB) konsumsi masyarakat atas pakaian dan alas kaki menunjukkan pertumbuhan lebih besar pada kuartal kedua dibanding kuartal lainnya. Persentase pertumbuhan konsumsi pakaian dan alas kaki di kuartal kedua sebesar 4.6% (2017); 3.2% (2018); dan 3.6% (2019). 

Hal tersebut menunjukkan bahwa di bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia menghabiskan sebagian besar dananya untuk belanja kebutuhan sandang dalam rangka menyambut hari raya. Perlu diingat bahwa bertumbuh atau tidaknya konsumsi masyarakat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, PDB pengeluaran konsumsi rumah tangga mendominasi PDB nasional dengan rata-rata 56.3 persen. Maka, terhambatnya konsumsi masyarakat akan turut mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

Pola konsumsi yang meningkat di bulan Ramadhan rentan akan melemahnya daya beli masyarakat jika tidak diimbangi dengan stabilitas harga dan ketersediaan sembako di pasar. Daya beli masyarakat sendiri dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat inflasi. Apabila tingkat pendapatan masyarakat konstan, namun harga sembako naik karena persediaan kurang dari permintaan, maka daya beli masyarakat cenderung melemah. 

Koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi sangat vital dalam menjaga stabilitas inflasi agar daya beli masyarakat tidak berlebihan maupun melemah. Sehingga, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terkontrol, sesuai dengan target pemerintah dan Bank Indonesia.



Daya Beli Masyarakat Turun

Tahun ini umat Muslim di dunia menjalani ibadah di bulan puasa dan merayakan Idul Fitri dengan agak berbeda. Di Indonesia, bulan Ramadhan yang identik dengan berkumpul dan bersilaturahmi, kini tidak dapat dilakukan karena wabah COVID-19. Masyarakat sebisa mungkin tidak bepergian, apalagi berkumpul sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Pemerintah pun sudah memberlakukan larangan mudik untuk mencegah penyebaran lebih luas. 

Selain itu, adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberi dampak pada perekonomian nasional, dimana banyak aktivitas bisnis yang terhenti, para pekerja harus bekerja dari rumah, tempat hiburan dan pusat perbelanjaan berhenti beroperasi, dan semua aktivitas yang melibatkan pertemuan lebih dari lima orang harus dihentikan. 

Hal ini tercermin dalam data BPS terkait pertumbuhan ekonomi melalui indikator PDB di kuartal pertama tahun ini. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia optimis pertumbuhan ekonomi kuartal satu sebesar 4.7 persen. Namun, data BPS menunjukkan PDB Indonesia di kuartal pertama 2020 sebesar 2.97 persen. Angka ini merosot dari PDB kuartal pertama tahun 2019, yakni 5.02 persen. 

Rendahnya PDB kuartal pertama 2020 mencerminkan konsumsi masyarakat yang merosot tajam. Hal ini tampak pada data pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 2.98%, turun sebesar 42.9% secara kuartalan di bandingkan PDB kuartal empat 2019.


Nilai Tukar Rupiah 

Indikator ekonomi Indonesia lain yang mencerminkan kondisi ekonomi di masa COVID-19 adalah nilai tukar rupiah. Sepanjang kuartal pertama 2020, rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 22% dari titik terkuatnya, hingga menyentuh Rp16.575 per dolar AS. 

Perlambatan ekonomi Indonesia bahkan sudah diproyeksi oleh para pelaku pasar valuta asing karena COVID-19 baru terdeteksi di Indonesia pada awal Maret 2020. Inilah sebabnya respon pasar begitu cepat selama bulan Maret 2020 atas melemahnya rupiah. 

Jika jelang Ramadhan tahun lalu nilai tukar rupiah cenderung melemah karena tekanan perang dagang AS dan Cina, tahun ini nilai tukar rupiah stabil cenderung menguat di area Rp15.000 per dolar AS karena beberapa kebijakan dari Bank Indonesia. 

Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi penggunaan 7 miliar dolar AS cadangan devisa untuk memasok pasar valuta asing, memperoleh Repurchase Agreement Line (REPO Line) dari The Fed sejumlah 60 miliar dolar AS, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Valas bank umum konvensional dari semula 8% menjadi 4%, meningkatkan intensitas triple intervention di pasar spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, serta mengintervensi pasar dengan surat utang berdenominasi dolar AS sebesar 4,3 miliar dolar AS. Semua kebijakan ini memberikan stimulus akan penguatan nilai tukar rupiah akibat proyeksi melambatnya perekonomian Indonesia tahun ini. 

Menurut data Bank Indonesia, cadangan devisa Indonesia pada posisi bulan April 2020 meningkat menjadi 127,9 miliar dolar AS dibandingkan posisi akhir Maret 2020. Peningkatan cadangan devisa ini terutama dipengaruhi oleh penerbitan Global Bond pemerintah Indonesia, yang di prakarsai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, di awal April lalu. Global Bond tersebut sebesar 4,3 miliar dolar AS dalam tiga bentuk surat berharga global, yaitu Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI 1050, dan RI0470.

Penerbitan USD bonds ini bertujuan untuk menjaga pembiayaan aman sekaligus menambah cadangan devisa bagi Bank Indonesia. Cadangan devisa yang cukup dapat mendukung ketahanan dari gangguan eksternal, serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dalam negeri.

Pandemi COVID-19 ini telah membuat perekonomian banyak negara lesu, termasuk Indonesia, sebab daya beli masyarakat melemah, kegiatan bisnis terhambat, serta ruang gerak terbatas. Kebijakan pemerintah dan bank sentral terus berusaha untuk menjaga perekonomian tetap kondusif. 

Namun, upaya ini tidak menampik bahwa peningkatan jumlah pengangguran dan bisnis yang gulung tikar melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, dampak COVID-19 ini akan masih terus terjadi sampai hari raya Idul Fitri, dimana banyak masyarakat Indonesia harus merayakan Lebaran secara terbatas karena pelarangan mudik dan terganggunya sumber pendapatan.

Menteri Perekonomian pun tengah memaparkan skenario pemulihan ekonomi dari COVID-19. Terdapat lima fase pelonggaran yang akan dimulai pada 1 Juni 2020 dan diharapkan selesai pada akhir Juli hingga awal Agustus 2020. Pada fase akhir, seluruh kegiatan ekonomi sudah dapat dibuka. Walau masih dalam tahap kajian, namun harapan besar masyarakat Indonesia akan perekonomian dalam negeri yang perlahan-lahan bangkit dan penurunan jumlah pasien positif COVID-19. (JB)



Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788