Home
>
News
>
Publication
>
MINYAK MENTAH DI TAHUN 2020: ANJLOKNYA PERMINTAAN, MANAJEMEN PASOKAN, DAN PANDANGAN KE DEPAN
MINYAK MENTAH DI TAHUN 2020: ANJLOKNYA PERMINTAAN, MANAJEMEN PASOKAN, DAN PANDANGAN KE DEPAN
Saturday, 13 February 2021

World Bank Commodity Market Outlook 2020

Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan bahwa COVID-19 yang pada awal penyebarannya disebut coronavirus disease sebagai pandemi global pertama sejak wabah H1N1 atau flu babi pada tahun 2009 silam. Peningkatan tajam dalam jumlah infeksi dan kasus berujung kematian di seluruh dunia telah memberikan kejutan besar bagi situasi dan pandangan ke depan secara global.

Salah satu sektor yang terkena dampak paling signifikan adalah sektor komoditas. Harga komoditas yang sebelumnya telah terombang-ambing oleh sejumlah ketegangan perdagangan, telah menunjukkan dampak buruk terhadap struktur pasokan dan permintaan sebagian komoditas dalam jumlah besar.

Dampak langsung dari COVID-19 dan langkah-langkah yang diambil untuk meredam dampaknya memiliki pengaruh besar terhadap harga komoditas. Harga sebagian besar komoditas utama terus menunjukkan kemerosotan sejak Januari 2020, salah satunya sebagai fokus adalah dari sector komoditas energi yang secara rata-rata turun sebesar 18,4% untuk kuartal-1 2020 dibandingkan dengan kuartal-iv 2020, dipimpin oleh minyak mentah yang mengalami penurunan terbesarper bulan Maret 2020.


Apa yang dihadapi pasar minyak mentah saat ini?

Ditinjau secara global, dampak COVID-19 dirasakan paling parah bagi pasar minyak mentah yang merupakan komoditas penggerak mayoritas industri di seluruh penjuru dunia. Pasar minyak terpukul oleh kombinasi momentum yang tidak pernah terjadi sebelumnya; permintaan yang cenderung negatif dan kejutan pasokan yang signifikan. Penurunan harga pada awalnya didorong oleh kekhawatiran akan dampak COVID-19 pada permintaan minyak di Cina, sebagai pusat awal penyebaran wabah, dan juga menyandang label sebagai konsumen minyak terbesar kedua di dunia. Seiring waktu, penurunan harga terjadi semakin dalam ketika virus menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Langkah-langkah mitigasi untuk membendung pandemic, juga diwarnai dengan gagalnya perundingan perjanjian produksi oleh OPEC dan mitranya pada awal Maret, telah memberikan tekanan hebat bagi pasar minyak.

Manajemen Pasokan

Berbicara tentang tingkat pasokan minyak mentah tidak luput dari adanya andil dari kesepakatan manajemen pasokan yang sejak hampir 50 tahun lalu menempatkan OPEC (dan saat ini OPEC +) sebagai satu-satunya kelompok produsen internasional yang tersisa untuk melakukan intervensi signifikan di pasar dengan mengelola pasokan.

Harga Historis Minyak Mentah di Tengah Krisis

Krisis opec pasti berujung pada kegagalan pengontrolan pasokan dan banjirnya pasar dengan pasokan.

Melihat kembali ke tahun 1985, produksi minyak Arab Saudi yang turun hampir dua pertiga (dari 10 mb/d ke level 3,5mb/d) mengancam daya saing industri minyaknya. Untuk mendapatkan kembali pangsa pasar, Arab Saudi meningkatkan produksi lebih dari 40% dalam satu tahun, yang menyebabkan jatuhnya harga minyak ke level terendah $8/ bbl pada April 1986. Menyusul tajamnya penurunan harga tersebut, anggota OPEC sepakat untuk memangkas produksi yang melandasi stabilitas harga minyak mentah selama 10 tahun ke depan, ditinjau dari factor pasokan.

Sejak krisis moneter global pada tahun 2008, yang menyebabkan mayoritas harga komoditas juga mengalami penurunan, negara-negara anggota OPEC lagi-lagi mengambil perannya dengan melakukan penumpukan cadangan minyak strategisnya secara besar-besaran dan berhasil menjaga harga minyak di atas level $ 100/barrel, dan perlu diingat juga tingkat permintaan dari sejumlah negara berkembang yang tumbuh sangat pesat juga terjadi pada masa-masa ini.

Pada paruh pertama tahun 2014, menanggapi meningkatnya pasokan minyak dan berkurangnya kekhawatiran geopolitik, persediaan minyak naik dan harga mulai kembali berada di bawah tekanan. Terlepas dari ekspektasi pasar akan penurunan produksi OPEC, organisasi ini justru memilih untuk tidak terlibat dalam pengurangan output pada pertemuan November 2014, dan harga minyak melanjutkan terjun bebas ke level terendah $30 /barrel pada Januari 2016.

OPEC memutuskan untuk terlibat kembali dalam pengurangan produksi pada pertemuan September 2016 dengan mengundang produsen minyak non-OPEC untuk berpartisipasi, terutama Rusia dan Meksiko. Kelompok OPEC+ dibentuk dan kesepakatan segera terbentuk untuk mengurangi produksi sebesar 1,8 mb/d untuk paruh pertama 2017 (dua pertiga oleh anggota OPEC dan sepertiga oleh yang lain, yang kemudian disesuaikan beberapa kali selama hampir empat tahun dan membantu harga minyak rebound mencapai $75/barrel pada tahun 2018.

Kemudian di tahun ini, di tengah rentang waktu penyebaran COVID-19, anggota OPEC + bertemu pada 6 Maret 2020 tetapi gagal memperpanjang atau memperluas pemangkasan yang telah disepakati sebelumnya dengan Rusia sebagai inisiator dari runtuhnya kesepakatan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pasar minyak global secara bersamaan mengalami ekspansi pasokan dari kesepakatan yang gagal dicapai dan jatuhnya permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, hal ini berujung pada akhir April 2020, harga minyak mencapai titik terendah dalam sejarah.

Kendati demikian, setelah Trump secara tegas melakukan intervensi terhadap keadaan yang terjadi dan mengeluarkan ancaman terhadap pemimpin OPEC, Arab Saudi dengan tarif minyak dan langkah-langkah lain jika tidak memperbaiki masalah kelebihan pasokan pasar. Perundingan marathon yang berlangsung selama empat hari pada awal April membuahkan kesepakatan yang tercapai oleh seluruh anggota untuk mengurangi produksi sebesar 9,7 juta barel per hari untuk Mei-Juni.

Target Perubahan Produksi OPEC+

Permintaan yang Anjlok

Langkah-langkah mitigasi untuk meredam penyebaran wabah yang berujung pada pembatasan/restriksi mobilitas warga menghentikan sebagian besar perjalanan secara global, pembatalan penerbangan yang hampir dirasakan seluruh maskapai, skema bekerja dan belajar dari rumah, berujung pada penurunan signifikan permintaan minyak.

Indikator awal dari berbagai instansi energi dunia menunjukkan tingkat konsumsi minyak mentah jika ditinjau secara tahunan mencatatkan kontraksi sebesar 6% pada kuartal-1 2020 dan akan turun lebih lanjut pada kuartal-ii 2020. Ditinjau secara tahunan, permintaan bensin AS telah mencatatkan penurunan hampir 50% pada dua minggu pertama April 2020 turun hampir 50% dan bahan bakar jet turun sebesar 60% dalam dua minggu pertama April dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan permintaan akan turun 23% kuartal-ii 2020, sebelum pulih secara bertahap, dengan catatan langkah-langkah mitigasi dicabut. Untuk tahun 2020, World Bank memperkirakan bahwa permintaan secara keseluruhan akan turun sebesar 9,3%, yang dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan krisis pasar minyak sebelumnya di tahun 1980 menyusul krisis energi yang telah berlanjut sejak tahun 1970 silam.

Penurunan ini diperkirakan akan lebih parah di antara ekonomi maju daripada pasar negara berkembang, mengingat penyebaran virus yang lebih besar di AS dan Eropa pada khususnya. IEA memperkirakan bahwa permintaan OECD akan turun 12% pada tahun 2020, sementara permintaan non-OECD diproyeksikan akan turun 7%.

Sebagai tinjauan, hingga awal Maret 2020 jumlah penumpang yang tercatat melalui pos Administrasi Keamanan Transportasi (TSA) Amerika Serikat telah mencatatkan penurunan sekitar 4% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019. Kemudian, sejak pertengahan Maret 2020, saat dimana restriksi wilayah dan kampanye pembatasan mobilitas semakin digaungkan di seluruh penjuru dunia, pengurangan secara drastis terus terjadi hingga saat ini mendekati nihil.

Pandangan ke Depan bagi Pasar Minyak Global

"Sementara pandemi yang dihadapi dunia saat ini cenderung memiliki sedikit preseden dalam sejarah, berbagai rangkaian krisis yang sebelumnya terjadi dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pasar sebuah komoditas dapat diproyeksi"

World Bank memperkirakan harga minyak akan pulih secara perlahan dan bertahap dari level rendahnya saat ini, dengan proyeksi rata-rata di $35/barrel pada tahun 2020 sebelum mulai naik ke tahun depan di $42/barrel. Proyeksi terebut, jika tidak meleset, akan menjadi salah satu pemulihan terlambat dari kejatuhan harga dalam sejarah. Dalam krisis terakhir, harga berhasil rebound hingga kisaran 50% dari titik terendahnya dalam waktu sekitar lima bulan, dan menggandakan pemulihannya setelah 12 bulan. Proyeksi akan lambatnya rebound harga minyak dari krisis saat ini dipengaruhi oleh begitu masif dan cepatnya dampak dari COVID-19 terhadap kondisi global, dikombinasikan dengan pengurangan produksi OPEC+ yang dapat dibilang tertunda.

Terhadap krisis ini, beberapa analis sepakat bahwa pemangkasan produksi oleh OPEC dan mitranya mungkin tidak mencukupi, dengan surplus besar yang diperkirakan masih akan berada di puncaknya pada kuartal-ii 2020 dan kemungkinan akan membanjiri kapasitas penyimpanan serta menyebabkan penghentian produksi yang meluas di antara produsen lain (AS dan Kanada).

Secara garis besar, World Bank menjabarkan implikasi jangka panjang dari pandemic COVID-19 ini terhadap sector komoditas menjadi beberapa poin:

1. Peningkatan biaya transportasi
Peningkatan pemeriksaan perbatasan yang timbul dari kekhawatiran COVID-19 dapat secara permanen meningkatkan biaya transportasi komoditas, dan mengurangi efektifitas fiscal aliran perdagangan.

2. Ketidakpastian sistem rantai pasok
Gangguan terhadap perusahaan yang bergantung pada rantai pasokan global dapat mendorong "reshoring" (memindahkan bisnis kembali ke negara asal) atau "nearshoring" produksi. Pergeseran ini dapat mengakibatkan pelonggaran sebagian dari rantai nilai global ketika perusahaan merestrukturisasi rantai pasokan mereka dan berpotensi menurunkan permintaan transportasi rata-rata jarak tempuh sector ekspor/impor dipangkas.

3. Meningkatnya pemanfaatan komoditas subtitusi
Dengan harga minyak mentah yang cenderung menjadi sangat murah di masa pandemic ini, kemungkinan risiko akan komoditas subtitusi masih belum terlalu signifikan. Justru sebaliknya, subtitusi masif sebuah komoditas penggerak akan lebih merugikan dari sisi fiscal,meliputi litbang serta penyesuaian lebih dibandingkan dengan memanfatkan harga yang sedang berada dalam titik terendahnya.

4. Perubahan perilaku konsumen
Langkah-langkah mitigasi yang penerapannya sangat masif, dan transisi yang cepat hampir di seluruh penjuru dunia dapat menyebabkan pergeseran dalam kebiasaan konsumen dan memperburuk tren yang ada. Tren bekerja dan komunikasi dari jarak jauh cenderung semakin cepat. Banyak perusahaan juga mulai berinvestasi terhadap infrastruktur yang mendukung tren saat pandemic – berujung pada pengurangan aktifitas transportasi dengan minyak sebagai penggerak utamanya.

5. Implikasi kebijakan
Turunnya harga minyak memberikan peluang bagi negara dan pasar berkembang (EMDE) untuk membentuk kebijakan yang kea rah mendorong reformasi subsidi energi. Reformasi ini dapat membantu memulihkan ruang fiskal, mencegah konsumsi energi yang boros, dan merealokasi pengeluaran untuk program-program yang lebih baik guna mencapai penghematan fiskal tambahan yang dapat membantu dengan tantangan fiskal yang timbul dari COVID-19.


Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788