Home
>
News
>
Publication
>
Memahami Pajak Karbon
Memahami Pajak Karbon
Monday, 13 September 2021

Isa A. Djohari

Pajak Karbon: Tanggung Jawab Kita Semua

Beberapa waktu terakhir ini, banyak diangkat isu mengenai pajak karbon. Berhubung istilah tersebut menggunakan kata “karbon”, maka dengan mudah kita mengaitkannya dengan karbon sebagai zat pencemar, yang tentu dengan mudah kita kaitkan dengan pembakaran bahan bakar minyak, ataupun penggunaan batubara.

Hal tersebut tidak salah, tapi kita harus mundur sedikit untuk bisa melihat hal-hal terkait karbon dengan lebih obyektif. Karena sebenarnya isu karbon mencakup bahasan yang lebih luas.

Tulisan ini hanya bermaksud membuka wawasan mengenai luasnya cakupan bahasan karbon. Sehingga hanya melibatkan sedikit dari banyaknya detail bahasan terkait pajak karbon maupun perdagangan karbon.

Isu pajak karbon muncul sebagai bagian kiprah Indonesia dalam upaya global memitigasi dampak perubahan iklim. Perubahan iklim atau climate change yang terjadi di dunia terutama disebabkan oleh aktivitas-aktivitas manusia yang melepaskan emisi senyawa gas yang memiliki dampak seperti rumah kaca, atau lebih sering dikenal sebagai gas rumah kaca. 

Maka dari itu, pajak karbon bertujuan untuk menanamkan kesadaran secara lebih tegas kepada masyarakat untuk mengurangi atau mengubah aktivitas-aktivitas yang melepaskan emisi gas rumah kaca ataupun mengaplikasikan teknologi yang lebih ramah lingkungan sehingga bisa membantu pemerintah Indonesia menjalankan aksi ketahanan iklim yang telah dicanangkan.

Komitmen Internasional Kurangi Emisi Karbon Lewat Pajak Karbon

Pemanasan global dan perubahan iklim memiliki dampak yang sangat besar. Kenaikan permukaan air laut, bertambahnya area gurun, panas ekstrim, kebakaran hutan, banjir dan berbagai fenomena alam lainnya semakin sering terjadi di dunia. Dampak lainnya adalah pada produksi pangan dunia. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia di seluruh dunia.

Indonesia menjadi bagian dari negara-negara di dunia yang membuat sejumlah kesepakatan-kesepakatan mulai dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1992, Kyoto Protocol pada tahun 1997 (baru efektif pada tahun 2005), hingga Paris Agreement pada tahun 2016. Kesepakatan-kesepakatan ini bertujuan untuk mendorong usaha-usaha yang bisa membatasi laju pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim. 

Kesepakatan-kesepakatan tersebut dijalankan secara bertahap. Mulai dari kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara maju yang dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab pada pemanasan global hingga menjadi tanggung jawab yang dipikul bersama berdasarkan Paris Agreement.

Sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement yang efektif sejak tahun 2016, di mana Indonesia harus menguraikan dan mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim pasca 2020 melalui Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), maka Indonesia telah menetapkan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29% bila tanpa dukungan internasional, atau 41% bila mendapatkan dukungan internasional yang memadai. 

Untuk mencapai target tersebut, salah satu upaya yang rencananya dijalankan oleh pemerintah adalah dengan menetapkan pajak karbon. Dapat dikatakan, pajak karbon adalah upaya pemerintah untuk mencapai komitmen menurunkan emisi karbon sebagai respon terhadap perubahan iklim.

Penerimaan dari pajak karbon bisa digunakan untuk membiayai offset project dan juga menjadi acuan harga bagi perdagangan karbon yang wacananya menggunakan skema cap and trade.

Indonesia telah menetapkan NDC. Saat tulisan ini dibuat, kerangka aturan implementasinya masih disempurnakan. Pajak Karbon menjadi keniscayaan untuk mendorong masyarakat Indonesia menurunkan emisi. Namun demikian, pihak mana yang harus ikut menanggung upaya penanggulangan perubahan iklim ini?

Bagaimanapun, upaya untuk menjalankan aksi ketahanan iklim membutuhkan biaya yang besar. Pembangkit-pembangkit listrik yang saat ini masih beroperasi dengan baik, tidak bisa begitu saja ditinggalkan dan diganti dengan teknologi yang memanfaatkan energi terbarukan dengan sekejap mata. Pada pembangkit yang masih beroperasi tersebut, telah ditanamkan sejumlah besar investasi. Begitu pula dengan pesawat-pesawat penumpang yang saat ini digunakan, ataupun kapal-kapal barang, dan truk-truk pengangkut barang penggerak ekonomi. Sehingga perubahannya harus bertahap. 

Emisi yang dihasilkan oleh teknologi lama tersebut harus dimitigasi dengan upaya-upaya untuk mengurangi jumlah emisi di atmosfer. Misalnya melalui proyek penanaman kembali hutan (re-forestration) ataupun pengembangan pembangkit listrik dengan energi terbarukan seperti energi panas bumi. Upaya mitigasi risiko perubahan iklim seperti ini disebut sebagai offset project.

Namun, bila merujuk pada NDC Indonesia yang menetapkan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, sebenarnya dari sini jelas, yang diturunkan bukan hanya karbon, melainkan semua gas rumah kaca. Karena gas rumah kaca tidak hanya karbon. Gas rumah kaca adalah senyawa-senyawa gas, yang bila dilepaskan ke atmosfer, akan berdampak seperti efek yang dihasilkan oleh sebuah rumah kaca.

Dampak Emisi Karbon dan Gas Rumah Kaca Lainnya

Bagaimana efek rumah kaca meningkatkan suhu rata-rata bumi? Pada rumah kaca, panas sinar matahari yang masuk ke dalam rumah kaca, sebagian akan diserap oleh tanaman dan sebagian lagi dipantulkan ke atas. Pantulan panas dari tanaman akan dipantulkan kembali oleh atap dan dinding rumah kaca sehingga membuat suhu di dalam rumah kaca menjadi lebih tinggi. Begitu pula dengan emisi gas yang memiliki efek rumah kaca. 

Panas matahari yang masuk ke bumi, sebagian diserap oleh permukaan bumi, dan sebagian lagi akan dipantulkan. Idealnya, panas yang dipantulkan akan dilepaskan ke luar bumi. Tapi karena adanya gas-gas pencemar tadi, panas yang dipantulkan permukaan bumi akan dipantulkan kembali ke dalam bumi sehingga meningkatkan suhu yang terjadi. 

Emisi gas yang memiliki efek rumah kaca terbesar atau lebih dikenal sebagai gas rumah kaca (greenhouse gasses) adalah carbon dioxide (CO2), methane (CH4), nitrous oxide (N2O), sulfur hexafluoride (SF6), hydrofluorocarbons (HFC), dan perfluorocarbon (PFC). Keenam jenis gas inilah yang diatur melalui Paris Agreement.

Dari keenam jenis gas yang diatur, memang yang terbesar adalah karbon dioksida. Sehingga karbon dioksida menjadi benchmark atau acuan pengukuran emisi gas rumah kaca dengan satuan kesetaraan atau ekuivalen karbon dioksida (carbon dioxide equivalent/CO2e). Untuk menggambarkan emisi gas rumah kaca seringkali digunakan istilah emisi karbon.

Namun, bila menelaah aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan keenam senyawa gas itu, tampak bahwa jenis aktivitas yang berkontribusi pada pemanasan global jauh lebih banyak dari yang umumnya kita perkirakan.

Menghitung Jejak Karbon

Emisi karbon dihasilkan berbagai aktivitas oleh individu, negara, ataupun organisasi dan dapat ditelusuri melalui penelusuran jejak karbon. Cara menghitung jejak karbon adalah dengan melakukan pengukuran emisi gas rumah kaca, pengujian masa pakai suatu produk atau jasa, ataupun aktivitas perhitungan lain yang dikategorikan sebagai carbon accounting. 

Aspek-aspek pengukuran ataupun perhitungan bisa mencakup pilihan moda transportasi, ukuran tempat usaha, penggunaan kertas dan alat tulis kantor lainnya, konsumsi listrik dan perangkat keras yang menggunakan listrik seperti mesin pendingin dan server komputer dan berbagai parameter lainnya atas aktivitas yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada emisi karbon. Pengukuran dan perhitungan seperti ini akan menggambarkan besarnya emisi karbon yang dihasilkan.

Setelah besarnya jejak karbon dianalisa dan emisi karbonnya diketahui, maka bisa dilakukan perencanaan untuk mengurangi ataupun memitigasi potensi dampak yang dihasilkan. Upaya-upaya terukur yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mengetahui besaran emisi karbon yang dihasilkannya bisa dilakukan dengan berbagai upaya. 

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan meliputi penggunaan energi dengan lebih efisien, mengembangkan prosedur pengelolaan dan pemrosesan produk yang lebih baik, strategi konsumsi, pengembangan teknologi ramah lingkungan, hingga strategi seperti pengembangan proyek offset karbon.

Dengan menghitung jejak karbon menggunakan carbon accounting kita bisa melihat aktivitas-aktivitas yang melepaskan gas-gas rumah kaca atau emisi karbon tersebut. 

Pembakaran Bahan Bakar Fosil

Sebagian besar gas karbon dioksida tentu dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas bumi. Dua pertiga dari emisi gas rumah kaca dihasilkan dari pembakaran bahan bakar ini. Aktivitas pembakaran bahan bakar fosil terbesar bersumber dari pembangkit listrik dan aktivitas transportasi, atau bisa dikategorikan sebagai penggunaan energi.

Energi bisa dihasilkan pada tempat yang sama dengan lokasi pemanfaatannya. Contohnya adalah pembakaran bahan bakar untuk menghasilkan energi bagi transportasi. Akan tetapi, energi juga bisa dihasilkan oleh pembangkit energi bagi konsumsi pihak lain, seperti pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batubara. 

Dengan demikian, dampak emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari aktivitas produksi energi, bisa dilihat dari dua sisi. Sisi di mana energi itu diproduksi, atau pada sisi di mana energi digunakan.

Pembangkit Listrik (Produksi Energi)

Sudut pandang pengukuran energi bisa berdampak pada penetapan kebijakan. Merujuk pada aktivitas global, maka bila emisi gas rumah kaca dari produksi energi semata-mata dilihat dari titik di mana energi diproduksi, maka pembangkit listrik menyumbang hingga 25% emisi gas rumah kaca global. Berdasarkan data ini, maka mudah untuk menilai bahwa yang bertanggung jawab atas emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global adalah perusahaan pembangkit listrik.

Namun, pembangkit energi umumnya beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan pihak lain. Sehingga bila emisi dari produksi energi dilihat melalui sudut pandang di mana energi dikonsumsi oleh pengguna akhir, maka 24% emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh aktivitas manufaktur dan pembangunan, 17% dari aktivitas transportasi, 11% dari konsumsi energi rumah tangga, dan 7% dari konsumen komersial. Hanya sekitar 4% dari emisi gas rumah kaca global yang dikonsumsi oleh industri yang bergerak di bidang produksi energi.

Aktivitas Non-Produksi Energi

Sisa emisi gas rumah kaca global dilepaskan oleh aktivitas-aktivitas di luar produksi energi. 7% gas rumah kaca global dihasilkan dari aktivitas-aktivitas terkait kehutanan dan perubahan penggunaan lahan, 6% dari aktivitas terkait proses industri, 3% dari limbah, dan sekitar 6% dari gas buangan dalam proses penambangan bahan bakar fosil. Yang sering mengejutkan masyarakat awam, ternyata 12% emisi gas rumah kaca dilepaskan dari aktivitas pertanian (mencakup pertanian dan peternakan).

Pertanian dan Peternakan

Aktivitas pertanian dan peternakan menjadi penyumbang terbesar emisi gas metana. Kotoran hewan dari aktivitas peternakan merupakan penyumbang emisi metana terbesar dari sektor aktivitas ini. Yang menarik, teknik bercocok tanam padi secara tradisional dikatakan menjadi penyumbang emisi gas metana terbesar setelah aktivitas peternakan. 

Sementara itu, aktivitas pertanian non peternakan melepaskan metana, gas nitrogen oksida (terutama dari penggunaan pupuk), serta karbon dioksida (apabila persiapan lahan diawali dengan pembakaran bekas panen sebelumnya).

Dengan demikian, gas rumah kaca tidaklah terbatas pada karbon dioksida, dan sumber penghasil gas rumah kaca tidaklah dimonopoli oleh aktivitas-aktivitas yang terkait pembakaran bahan bakar fosil semata. Berdasarkan data di atas, 11% energi yang diproduksi dikonsumsi oleh rumah tangga. 

Lebih lanjut lagi, bila melihat bahwa hasil produksi pertanian dan peternakan juga dikonsumsi oleh masyarakat luas, maka apa yang kita makan, listrik yang kita gunakan, perjalanan yang kita lakukan, semua berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. 

Komitmen Indonesia Menurunkan Emisi Karbon

Sumber emisi gas rumah kaca meliputi hampir seluruh aspek ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, seluruh bangsa Indonesia harus berkontribusi pada upaya penurunan emisi melalui berbagai jenis upaya mitigasi perubahan iklim!

Biaya yang diperlukan untuk aksi ketahanan iklim sangat besar. Akan sulit bila hanya ditanggung Pemerintah semata walau menerapkan pajak karbon. Semua aktivitas ekonomi harus siap untuk turut berkontribusi pada aksi ketahanan iklim. 

Bila pemerintah Indonesia jadi mengimplementasikan kebijakan cap and trade, maka besarnya emisi yang boleh dihasilkan entitas usaha akan dibatasi. Bila berlebih, maka ada dua potensi konsekuensi; Pertama, membayar pajak karbon atas kelebihan emisi, atau; Kedua, membeli jatah emisi dari pihak lain yang bisa efisien, atau istilah kerennya, harus bisa go-green!

Dengan NDC Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030, maka ada kemungkinan bahwa go-green tidak lagi menjadi jargon semata bagi pelaku ekonomi. Semua pihak harus memulainya. Bagi entitas usaha, yang paling mudah dan potensial untuk mulai bisa diupayakan adalah dengan menghemat penggunaan kertas dan menghemat penggunaan listrik. 

Masyarakat umum pun harus siap dengan kontribusinya. Kemungkinan tanpa perlu menelusuri jejak karbon, tapi melalui potensi kenaikan harga akibat pajak karbon yang diterapkan pada listrik ataupun bahan bakar minyak. 

Cara lain yang bisa ditempuh entitas usaha ataupun masyarakat untuk berkontribusi bila efisiensi lebih lanjut sulit untuk diaplikasikan dalam waktu dekat ini, adalah melalui potensi untuk turut membiayai carbon offset project melalui pembelian sertifikat karbon offset yang dihasilkan oleh proyek-proyek seperti ini. Namun untuk hal ini akan dibahas dalam tulisan lain.

Tentang Pasar Karbon
Mekanisme perdagangan kredit karbon melalui bursa dapat membantu mewujudkan target kebijakan iklim dan menekan biaya dalam mencapai target pengurangan emisi Indonesia.
Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788