Home
>
News
>
Publication
>
Dilema Batu bara di Tengah Tren Energi Ramah Lingkungan
Dilema Batu bara di Tengah Tren Energi Ramah Lingkungan
Thursday, 06 May 2021

Oleh: Dominick Tjokrosetio


Sekilas Tentang Batu bara

Secara sederhana, batu bara dapat didefiniskan sebagai bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan organik (tumbuhan) dalam kondisi bebas oksigen dan berubah wujud karena pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun. Batu bara mengandung 65-95% karbon, dan sisanya mencakup hidrogen, sulfur, oksigen dan nitrogen.


Beberapa ahli sejarah meyakini batu bara pertama kali digunakan sekitar tahun 1000 Sebelum Masehi (SM) di Cina untuk mencairkan tembaga dan mencetak uang logam. Selanjutnya, penggunaan batu bara secara massal sangat berkaitan dengan Revolusi Industri di abad ke-18 dan 19 yang mendukung eksploitasi besar-besaran deposit batu bara, terutama sejak penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1769.


Seiring dengan perkembangan tenaga listrik pada abad ke-19, batu bara mulai digunakan sebagai bahan baku pembangkit listrik. Pusat pembangkit listrik tenaga uap pertama oleh Thomas Edison mulai dioperasikan di New York pada tahun 1882 untuk menyuplai lampu-lampu rumah. Pada tahun 1960-an, minyak mulai mengambil alih posisi batu bara sebagai sumber energi utama karena pesatnya pertumbuhan transportasi.


Produksi dan Konsumsi Batu bara

Sebanyak 60% dari produksi batu bara global berasal dari tambang bawah tanah dan sisanya dari tambang permukaan atau terbuka. Perbedaan lokasi tambang ini berdampak pada harga batu bara, dimana batu bara dari tambang bawah tanah jauh lebih mahal karena kondisi penambangan yang lebih sulit dan membutuhkan lebih banyak penambang. 


Produksi batu bara global di tahun 2018 mencapai 8 milyar ton, dimana Cina dan India merupakan negara produsen batu bara terbesar pertama dan kedua di dunia. Namun, hampir semua produksi kedua negara tersebut digunakan untuk konsumsi domestik. Selain itu, ketergantungan keduanya pada batu bara untuk menghasilkan listrik, Cina dan India juga menjadi importir terbesar pertama dan kedua dunia.


Sementara dari sisi konsumsi, pada tahun 2018 tercatat penggunaan batu bara global mencapai 3.8 milyar ton. Penggunaan batu bara paling signifikan adalah untuk sektor pembangkit listrik (67%), produksi besi baja (17%), bahan bakar cair (5%), pembuatan semen (4%), dan sektor lainnya (8%).


Standardisasi Mutu dan Harga Batu bara

Harga batu bara sangat bergantung pada kualitas, yang mana ditentukan melalui beberapa parameter antara lain: Total Moisture (TM), Inherent Moisture (IM), Fixed Carbon (FC), Ash, Volatile Matter (VM), Total Sulphur (TS) dan Calorie Value (CV). Parameter tersebut kemudian dianalisis melalui dua metode, yaitu air-dried based (adb) dan as received (ar).


Perbedaan mendasar pada kedua analisis ini terdapat pada TM. Analisis adb dilakukan pada batu bara yang dikeringkan secara alami atau dalam alat pengering pada suhu ruang sebelum dianalisis. Sedangkan analisis ar adalah analisis sampel batu bara yang langsung dilakukan ketika sampel tersebut diterima di laboratorium, sehingga kandungan TM saat pengambilan sampel sangat berpengaruh terhadap nilai kualitas.


Kandungan TM yang tinggi dapat menurunkan kualitas batu bara, terutama pada nilai CV. Apabila nilai TM meningkat, maka nilai kalori pun akan turun, demikian pula sebaliknya.


Berdasarkan segmen pasarnya, batu bara dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu:

  1. Batu bara ketel uap (steam coal)

    Steam coal (batu bara termal) digunakan untuk pembangkit listrik. Acuan harga steam coal berasal dari batu bara produksi Newcastle, Australia yang sudah diperkenalkan sejak 2002 dan kini telah menjadi patokan untuk transaksi steam coal di Asia Pasifik, termasuk Cina dan Jepang.Perdagangan internasional batu bara termal secara efektif dibagi menjadi dua pasar regional: Atlantik dan Pasifik. Pasar Atlantik ditujukan untuk negara-negara pengekspor batu bara di Eropa Barat, terutama Inggris, Jerman dan Spanyol. Pasar Pasifik terdiri dari negara-negara berkembang dan pengimpor di Asia dan negara-negara Asia yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), terutama Jepang, Korea dan Taiwan. Pasar Pasifik saat ini mencakup sekitar 60% perdagangan batu bara termal dunia.

  2. Batu bara kokas (coking coal)

    Coking coal (batu bara metalurgi) digunakan untuk produksi besi baja. Harga batu bara kokas di pasaran tiga kali lipat lebih mahal dari harga batu bara termal, karena batu bara kokas memiliki kandungan sulfur dan fosfor yang lebih rendah. Referensi harga batu bara kokas menggunakan harga batu bara kokas keras (hard coking coal) Australia. 

  3. Batu Bara dan Emisi Karbon
    Seiring dengan meningkatnya kampanye transisi energi ke energi terbarukan yang digaungkan oleh Greenpeace, batu bara menjadi salah satu sumber energi yang paling banyak mendapat tekanan, mengingat lebih dari 50% sumber listrik global menggunakan bahan bakar fosil berupa batu bara. Padahal, batu bara melepaskan 66% lebih banyak karbon dioksida atau CO2 per unit energi yang dihasilkan dibandingkan bahan bakar fosil lainnya.Ketika bahan bakar fosil dibakar untuk menghasilkan energi, karbon dalam bahan bakar tersebut bereaksi dengan oksigen untuk membentuk gas CO2. Pembakaran batu bara juga melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada CO2 dalam memberikan efek rumah kaca. EIA (Energy Information Administration) mengatakan bahwa sekitar 7% dari emisi metana global per tahun berasal dari tambang batu bara.


Dalam menghadapi kritik keras dari para aktivitis lingkungan, para produsen batu bara pun mempromosikan Clean Coal Technology (Teknologi Batu Bara Bersih). Teknologi ini pertama kali beroperasi pada bulan September 2008 di Spremberg, Jerman dengan nama Pembangkit Listrik Schwarze Pumpe. Pembangkit listrik ini diyakini mampu mengurangi kadar emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran batu bara.

Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar batu bara dunia pun mulai menerapkan teknologi ini ke dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). PLTU Cirebon Power merupakan salah satu pelopor penggunaan teknologi batu bara bersih di Indonesia. Melalui teknologi ini, PLTU Cirebon mengklaim mampu menghemat konsumsi batu bara hingga 6% per tahun dengan mengkonsumsi batu bara berkalori rendah.

Teknologi batu bara bersih lain yang juga sedang diterapkan di Indonesia adalah gasifikasi. Melalui gasifikasi, bahan bakar karbon mentah akan dioksidasi untuk menghasilkan produk bahan bakar gas sintesis atau syngas. Selanjutnya syngas akan dikonversi menjadi produk hilir seperti metanol, DME, Pupuk, Polypropylene dan produk bernilai tinggi lainnya.

Terlepas dari pro dan kontra batu bara sebagai penyumbang emisi, batu bara merupakan komoditas penting Indonesia yang tidak mungkin sepenuhnya dilepaskan. Maka dari itu, pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk mengurangi emisi dari batu bara dan menghasilkan energi ramah lingkungan melalui teknologi batu bara bersih.


Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788